Dakwah

Jangan Meyakini Nikmat yang Kita Dapatkan Karena Jerih Payah Kita atau Karena Kita Pantas Mendapatkannya

Saudaraku, ingatlah selalu bahwa apa pun kenikmatan yang sampai kepada kita, ia pastilah berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, sedangkan makhluk hanyalah sebagai perantara saja. Jangan sampai kita malah menyangka dan meyakini bahwa nikmat dan karunia yang kita dapatkan adalah hasil jerih payah kita sendiri, dan jangan sampai pula kita merasa bahwa nikmat itu datang karena kita memang pantas mendapatkannya.

Oleh karena itu saudaraku, jangan pernah merasa yakin dan percaya diri bahwasanya sudah sepantasnya diri kita mendapatkan nikmat tersebut karena kita rajin shalat atau rajin bersedekah, sebab yang demikian adalah tanda bahwa kita kurang bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketahuilah, menyangka bahwa usaha kita adalah tolak kenikmatan yang kita dapatkan, maka hal itu adalah keliru, karena betapa banyak orang yang sudah berusaha dengan gigih namun kenyataannya tidak diberi nikmat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, padahal mungkin orang tersebut jauh lebih saleh daripada diri kita.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلَئِنْ أَذَقْنَاهُ رَحْمَةً مِنَّا مِنْ بَعْدِ ضَرَّاءَ مَسَّتْهُ لَيَقُولَنَّ هَٰذَا لِي وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً وَلَئِنْ رُجِعْتُ إِلَىٰ رَبِّي إِنَّ لِي عِنْدَهُ لَلْحُسْنَىٰ ۚ فَلَنُنَبِّئَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِمَا عَمِلُوا وَلَنُذِيقَنَّهُمْ مِنْ عَذَابٍ غَلِيظٍ

“Dan jika Kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari Kami sesudah dia ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata: “Ini adalah hakku, dan aku tidak yakin bahwa hari Kiamat itu akan datang. Dan jika aku dikembalikan kepada Tuhanku maka sesungguhnya aku akan memperoleh kebaikan pada sisi-Nya”. Maka Kami benar-benar akan memberitakan kepada orang-orang kafir apa yang telah mereka kerjakan dan akan Kami rasakan kepada mereka azab yang keras.” (QS. Fushshilat [41]: 50)

Mujahid berkata tentang tafsir ayat ini,

“(Ini adalah hakku) yaitu (rahmat) ini adalah karena jerih payahku, dan aku berhak mendapatkannya.”

Ibnu ‘Abbas berkata,

“(yaitu) ini adalah dari diriku sendiri.”

Perkataan ini senada dengan ungkapan kekufuran Qarun yang diabadikan dalam Al-Qur’an,

قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَىٰ عِلْمٍ عِنْدِي

“Qarun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”.” (QS. Al-Qasas [28]: 78)

Qatadah berkata ketika menafsirkan ayat ini,

“(Maksudnya) berdasarkan pada ilmu pengetahuanku tentang cara-cara berusaha.”

Ahli Tafsir lainnya mengatakan,

“(Yaitu) ‘Karena Allah mengetahui bahwa aku adalah orang yang layak menerima kekayaan tersebut’, dan inilah makna yang dimaksudkan Mujahid, ‘Aku diberi harta kekayaan atas kemuliaanku’.”

Oleh karena itu, sikap hati kita ketika diberi nikmat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah kita meyakini bahwa nikmat tersebut datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, dan meyakini bahwa nikmat tersebut terlalu besar dan banyak serta tidak sebanding dengan sedikitnya usaha yang kita lakukan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ

“Dan segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allah.” (QS. An-Nahl [16]: 53)

Allah Ta’ala berfirman,

هَٰذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ

“Ini adalah karunia dari Rabbku untuk menguji diriku. Apakah aku bisa bersyukur ataukah justru kufur.” (QS. An-Naml [27]: 40)

Dari Abu Hurairah, bahwasanya dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Ada tiga orang dari Bani Israil yang menderita sakit. Yang pertama menderita penyakit kusta, yang kedua penyakit kebotakan, dan yang ketiga buta. Kemudian Allah ingin menguji mereka bertiga, maka diutuslah malaikat kepada mereka.

Datanglah malaikat tersebut kepada orang yang berpenyakit kusta, lantas bertanya kepadanya; ‘Apa yang paling kamu sukai?’ Orang tersebut menjawab; ‘Aku ingin rupa dan kulit yang indah, serta diangkatnya penyakit yang membuat manusia jijik terhadapku ini.’ Maka malaikat pun mengusap kulitnya dan seketika hilanglah penyakit itu. Ia langsung dibeir rupa yang bagus dan kulit yang indah. Kemudian malaikat bertanya lagi; ‘Harta apa yang paling kamu sukai?’ Orang tersebut menjawab; ‘Unta atau sapi.’ Maka dia diberi unta yang sedang hamil sepuluh bulan, lalu malaikat berkata; ‘Semoga Allah memberkahimu pada unta tersebut’.”

“Kemudian malaikat itu mendatangi orang yang berkepala botak (berpenyakit aqra’) dan bertanya kepadanya; ‘Apa yang paling kamu inginkan?’ Orang tersebut menjawab; “Saya ingin rambut yang indah dan menghilangkan penyakit menjijikkan di kepalaku yang membuat manusia lari dariku’. Maka malaikat itu mengusap kepala orang tersebut, dan seketika hilanglah penyakitnya, serta diberilah ia rambut yang indah. Kemudian malaikat bertanya lagi; ‘Harta apa yang paling kamu senangi?’. Orang itu menjawab; ‘Sapi’. Maka dia diberi seekor sapi ynag sedang hamil lalu malaikat bekrata; ‘Semoga Allah memberkahimu pada sapi tersebut’.”

“Kemudian malaikat mendatangi orang yang buta lalu bertanya kepadanya; ‘Apa yang paling kamu inginkan?’ Orang ini menjawab; ‘Semoga Allah berkenan mengembalikan penglihatanku, sehingga dengan penglihatan itu aku dapat melihat manusia.’ Maka malaikat mengusap wajah orang tersebut dan seketika penglihatannya dikembalikan oleh Allah. Lalu malaikat bertanya lagi; ‘Harta apa yang paling kamu senangi?’ Orang itu menjawab; ‘Kambing’. Maka dia diberi seekor kambing yang akan melahirkan (atau kambing yang sudah memiliki anak).”

“Maka kedua orang yang pertama tadi hewan-hewannya berkembang biak dengan banyak, begitu juga orang yang ketiga, sehingga yang pertama memiliki satu lembah unta, yang kedua memiliki satu lembah sapi, dan yang ketiga memiliki satu lembah kambing.”

“Kemudian malaikat itu mendatangi orang yang sebelumnya berpenyakit kusta dengan menyerupai dirinya saat masih berpenyakit kusta, lalu berkata; ‘Saya orang miskin yang kehabisan bekal dalam perjalananku ini. Sungguh tidak ada yang dapat meneruskan perjalananku ini kecuali pertolongan Allah, kemudian dengan pertolongan Anda. Aku memohon dengan menyebut nama Allah yang telah memberimu warna dan kulit yang bagus, dan harta berupa unta-unta, agar engkau mau memberiku bekal agar aku dapat meneruskan perjalananku ini.’ Maka orang ini berkata; ‘Sesungguhnya tanggung jawabku sangat banyak.’ Lalu Malaikat bertanya kepadanya; ‘Sepertinya aku mengenal Anda. Bukankah Anda dahulu orang yang berpenyakit kusta sehingga manusia menjauhimu, dan bukankah kamu dahulu seorang fakir, lalu Allah memberimu harta?’ Orang ini malah menjawab; ‘Harta ini adalah apa yang aku miliki secara turun-temurun.’ Maka malaikat berkata; ‘Seandainya kamu berdusta, semoga Allah mengembalikanmu kepada keadaanmu semula’.”

“Kemudian malaikat itu mendatangi orang yang dahulunya berpenyakit kebotakan dengan menyerupai dirinya saat masih berpenyakit kebotakan. Malaikat pun mengatakan kepadanya apa yang juga ia ucapkan kepada orang yang berpenyakit kusta, dan ternyata jawaban keduanya benar-benar sama. Maka malaikat pun berkata kepada orang ini; ‘Seandainya kamu berdusta, semoga Allah mengembalikanmu kepada keadaanmu semula’.”

“Kemudian malaikat mendatangi orang yang dahulunya buta dengan menyerupai dirinya saat masih buta, dan berkata kepadanya; ‘Aku adalah orang miskin yang kehabisan bekal dalam perjalananku ini, dan tidak ada yang dapat meneruskan perjalananku ini kecuali pertolongan Allah, kemudian dengan pertolongan Anda. Maka aku memohon kepadamu dengan nama Allah yang telah mengembalikan penglihatanku, aku meminta seekor kambing saja untuk melanjutkan perjalananku’. Maka orang ini menjawab; ‘Dahulu aku adalah orang yang buta, lalu Allah mengembalikan penglihatanku. Dahulu aku adalah seorang fakir, lalu Allah memberiku kecukupan. Maka dari itu, ambillah apa pun yang engkau sukai dan tinggalkan apa yang tidak engkau sukai. Demi Allah, aku tidak akan menghalangimu untuk mengambil apa pun, tulus karena Allah.’ Maka malaikat itu berkata; ‘Tahanlah hartamu. Sesungguhnya kalian hanya diuji oleh Allah, dan Allah telah meridai kamu, dan memurkai kedua temanmu.” (HR, Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, bersyukur kepada Allah dengan menisbahkan nikmat kepada Allah, adalah faktor utama dipertahankannya nikmat tersebut oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada diri kita, dan bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menambahkan nikmat-Nya atas diri kita.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

 لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS. Ibrahim [14]: 7)

Dan sebaliknya, tidak bersyukur kepada Allah dengan tidak menisbahkan nikmat tersebut kepada Allah, adalah faktor utama dicabutnya nikmat tersebut.

Wallahu A’lam.

Sumber:

Andirja, Lc., MA, Dr. Firanda. 2021. Syarh Kitab At-Tauhid Karya Syaikh Muhammad bin AbdilWahhab Jilid 3. Jakarta: Ustadz Firanda Andirja Office.

Tinggalkan komentar