Dakwah

Parenting: Jangan Tunjukkan Rasa Takut Kita di Depan Anak Kita

“Di depan anak, orang tua perlu menunjukkan contoh terbaik. Karenanya, perlu juga untuk belajar menjadi aktris dan aktor dadakan.”

Sekelompok anak TK berkerumun di sebuah meja. Tampaknya mereka sedang berebut untuk memperhatikan sesuatu. Beberapa di antaranya mencoba memegang dengan jari-jarinya benda yang ada di meja. Antusias sekali. Padahal, gurunya hanya memadu dari belakang.

Apa yang membuat anak-anak itu berebut ingin tahu? Rupanya saat itu adalah waktunya mempelajari kehidupan binatang. Dan sang guru membawakan ranting pohon dengan beberapa lembar daun, lengkap dengan dua ekor ulat di atasnya. Ulat-ulat itu cukup besar dan gemuk sehingga mudah dilihat bentuknya oleh anak-anak. Bergerak perlahan dan meliuk-liuk di atas daun yang sedikit berlubang membuat anak-anak itu gelas melihatnya.

Bu Wiwin, sang guru, tidak masuk dalam kerumunan. Ia hanya berdiri di belakang, memberi kesempatan anak-anak untuk bisa melihat dari dekat. Dilihatnya saja gerakan ulat-ulat itu dari kejauhan sambil sesekali memberikan komentar, keterangan atau menjawab cercaan pertanyaan anak-anak yang penasaran dan ingin tahu.

Kegiatan praktek dengan mengetahui secara langsung kehidupan binatang seperti itu sangat efektif untuk memancing rasa ingin tahu anak. Namun, bagi Wiwin, kesuksesannya mengajar kali ini bukannya tanpa pengorbanan. Sejak pertama kali muncul ide membawa ulat ke dalam kelas, Wiwin sudah meragukan kemampuannya sendiri. Asal tahu saja, guru TK yang satu ini memang amat jijik dengan binatang-binatang semacam ulat, cacing dan sejenisnya.

Untuk membawa ranting dengan dua ulat diatasnya ke dalam kelas, ia meminta bantuan kakaknya secara khusus yang mengantarnya pergi mengajar. Kakaknya itu pula yang bersusah payah mencarikan ulat di pohon jambu milik tetangga. Dan setelah berhasil meletakkannya di meja, masih diperlukan perjuangan berikutnya, yaitu bagimana menerangkan kepada anak-anak dengan benar disertai suasana yang menggembirakan. Tentu saja Wiwin perlu bersandiwara di depan murid-muridnya itu.

Kalau di hari-hari biasa ia bisa langsung merinding begitu melihat ulat, maka pagi itu ia harus memberanikan diri berdiri di dekatnya. Pernah juga suatu ketika di saat ia masih duduk di SMP, seorang teman yang mengetahui karakteristik Wiwin menggodanya dengan meletakkan ulat di baju seragamnya. Melihat itu Wiwin berteriak histeris dan menangis ketakutan. Peristiwa itu bukannya menjadikan dirinya lebih berani. Sebaliknya, justru membuatnya trauma dan semakin jijik terhadap ulat.

Sekarang, Wiwin meneguhkan hati demi murid-muridnya. Ia tak mau melihat ulat itu langsung dengan kedua matanya untuk menghindari timbulnya perasaan jijik yang berlebihan meski tak dapat ia sangka perasaannya menginginkan acara ini cepat berakhir. Sebagai guru yang bijaksana, Wiwin cukup tahu apa yang harus diperbuatnya. Ia sama sekali tak menampakkan ekspresi jijik ataupun takutnya di hadapan anak-anak. Bahkan, ia bercerita tentang ulat itu dengan gembira dan penuh canda meski tentu saja semua itu ia sandiwarakan dengan penuh susah payah dan hati berdebar-debar. Semua itu ia lakukan demi membangkitkan rasa ingin tahu anak dan menghindarkan munculnya perasaan jijik dan takut itu sendiri dalam diri mereka.

Mengapa Perlu Bersandiwara

Memang benar bahwa orang tua dan pendidik perlu belajar bersandiwara demi memberikan teladan di depan putra-putrinya. Kita semua tidak mungkin luput dari kesalahan. Pasti ada perasaan dalam diri kita yang salah, yang tak semestinya ditampakkan agar tidak diteladani oleh anak-anak. Sementara untuk menghilangkan perasaan tersebut dari diri kita sungguh tak mungkin. Maka, alternatif yang mungkin memang dengan bersandiwara.

Perasaan yang paling sering ada dalam diri orang tua dan tak patut dicontoh itu biasanya adalah bentuk perasaan takut terhadap sesuatu. Takut terhadap hantu, misalnya. Apalagi jika malam telah tiba, dan ia sedang berada sendirian di rumah bersama anak-anak. Jika dalam situasi seperti ini orang tua menampakkan ketakutannya, maka sudah pasti ketakutan itu akan menjalar ke anak dan jadilah mereka sebagai anak yang takut kepada hantu. Tak jarang, ketakutan ini berkembang menjadi takut terhadap kegelapan.

Inilah saat ketika orang tua dituntut untuk bisa berakting di depan mereka, dengan menyembunyikan perasaan takut dan menampakkan keberaniannya. Sungguh tidak mudah. Dituntut layaknya orang tua menjadi pemain film, yang harus memerankan perasaan orang yang bukan perasaannya sendiri.

Tak ada jalan lain, kecuali mengalahkan perasaan takut itu sendiri. Misalnya dengan mengajak anak-anak berbicara seperti biasa, apalagi jika bisa mengubahnya menjadi suasana menggembirakan demi menghilangkan kesan tak enak di hati anak-anak. Atau menghibur mereka dengan nasihat bahwa hantu itu juga ciptaan Allah yang lebih rendah dari manusia, dan manusia yang baik pasti ditemani malaikat serta ditolong oleh Alah Subhanahu wa Ta’ala. Atau memupuk keberanian mereka dengan pesan bahwa atas izin Allah manusia lebih kuat daripada hantu (jin, setan, dan sebagainya). Bahkan, berkata seperti itu bisa sekaligus menasihati diri sendiri.

Lebih baik lagi jika nasihat dibarengi dengan tindakan. Ajaklah anak-anak untuk keluar rumah di tengah kegelapan. Tetap dengan mempertahankan suasana gembira, dengan bercanda dan bernyanyi-nyanyi misalnya. Tunjukkan bukti kepada mereka bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Tentu saja ini memerlukan perjuangan, mengingat hati kita sendiri pun sering tak yakin bahwa tak akan ada apa-apa di tengah kegelapan malam itu.

Begitu pula dengan ketakutan-ketakutan lain seperti takut jatuh, takut berada di ketinggian, takut sendirian, dan sebagainya. Yang perlu dipahami adalah setiap anak dilahirkan dalam keadaan tidak mengerti apa-apa, dan ia akan mengembangkan perasaannya sesuai dengan yang ia temui di sekitarnya. Terkait ketinggian, itu bisa muncul ketika dia pernah melihat seseorang di sekitarnya yang menampakkan raut wajah khawatir saat berada di ketinggian. Dan untuk menghilangkan ketakutan itu, orang tua perlu memotivasi anak untuk berani memanjat-manjat dan memberikan pujian jika mereka berhasil melakukannya.

Saat anak memanjat balok-balok mainan yang cukup tinggi dan orang tua mengkhawatirkan keselamatannya, padahal mainan tersebut sudah dirancang aman untuk anak, maka lebih baik orang tua diam, atau berjaga-jaga di sekitar balok untuk menenangkan perasaannya sendiri. Jika orang tua melarang atau menampakkan ekspresi khawatir, maka mereka juga akan takut untuk memanjat kembali.

Perasaan takut terhadap binatang, seperti ketakutan Wiwin terhadap ulat, sangat perlu untuk dievaluasi. Takut terhadap kecoa, tikus, atau kadal, juga tak pantas ditampakkan di depan anak-anak. Tetap ada kemungkinan kita akan menjerit ketakutan ketika tiba-tiba menemui binatang-binatang itu, tetapi akan lebih baik jika kita bisa cepat-cepat mengendalikan perasaan begitu tersadar. Apabila anak sempat menangkap ketakutan itu, kita bisa beralasan bahwa kita bukannya takut, tetapi hanya terkejut. Nah, bersandiwara lagi, bukan?

Cari Alasan

Mengendalikan perasaan dengan bersandiwara seperti ini juga memerlukan latihan. Termasuk juga memerlukan kreativitas pendidik dan orang tua untuk pandai-pandai mencari alasan. Semisal saat tanpa sengaja kita terjebak menampakkan perasaan yang semestinya disembunyikan itu di depan anak-anak.

Ketika tiba-tiba lampu di rumah padam, misanya, ibu berteriak dan lantas terdiam ketakutan, mengingat sendirian di rumahnya yang besar dengan ketiga anaknya yang masih kecil-kecil. Anaknya yang pertama bertanya, “Ibu takut? Ada apa kok menjerit? Aku juga takut, bu….”

Lebih baik pertanyaan itu kita jawab setelah perasaan kita sendiri tenang. Semisal dengan berdalih, “Ibu berteriak bukannya ketakutan…. ini lho.. sup yang ibu suapkan ke mulut adik tumpah.” Dan memang ibu menumpahkan sedikit sup karena kaget.

Mutlak Diperlukan

Dalam situasi tertentu, keahlian bersandiwara menjadi penting kala mendidik anak-anak secara psikologis. Bu Lilik pernah menceritakan pengalamannya bersama Ina, putrinya yang duduk di kelas satu SD, saat menjalani operasi amandel.

Sebenarnya Bu Lilik bukanlah orang yang pemberani, bahkan tergolong penakut jika berhadapan dengan dokter. Semenjak gadis, ia paling anti untuk diperiksa dokter, apalagi disuntik. Pernah pada saat ia menjenguk teman yang dirawat di rumah sakit karena kecelakaan, justru ia sendiri yang pingsan karena takut dan ngeri melihat darah yang terus mengucur dari wajah dan badan temannya. Namun, ketika harus mendampingi Ina operasi, ia tak memiliki pilihan lain, karena tak ada saudara lain yang bisa menunggui anaknya di rumah sakit. Maka, terpaksa dirinya dan suaminyalah yang harus mengantar si anak ke rumah sakit.

Masalah mulai muncul ketika Ina tahu bahwa dirinya diajak memasuki rumah sakit. Walaupun hati kecil Lilik (sang ibu) sendiri ragu-ragu, gelisah dan tak enak, ia tetap tegar melangkah dan berusaha bercanda seperti biasa untuk membujuk Ina. Bau obat di rumah sakit membuatnya pusing, tetapi ia hanya mengatakan kepada Ina bahwa kepalanya pusing karena masuk angin. Lilik pun memilih untuk tidak memandang terlalu sering ke sekitarnya, yang memang banyak orang sakit lalu lalang, dengan perban, gips, dan darah dimana-mana. Ia memilih duduk di samping Ina, membacakan cerita-cerita lucu dari buku yang mereka bawa, atau mengajaknya mengobrol tentang apa yang menyenangkan hati Ina.

Perjuangan paling berat ketika membujuk Ina untuk menuju ruang atas tempat operasi akan dilangsungkan. Peralatan yang baginya cukup menyeramkan ternyata membuat putrinya keder juga. Tetapi dengan ekspresi wajah yang meyakinkan, Lilik menceritakan tentang alat-alat aneh itu satu per satu berikut kegunaannya, dengan dibumbui gurauan untuk membuat suasana menjadi ceria. Tak peduli dengan orang-orang di sekitarnya yang diam dengan wajah penuh kekhawatiran, Lilik justru terus berbicara tanpa henti dengan gembira. Ia ingin memalingkan perhatian Ina dari keadaan sekelilingnya yang membuat perasaannya menjadi tak enak.

Setelah bius disuntikkan dan sesaat kemudian Ina tertidur, barulah Lilik bisa tenang. Meneteslah air matanya melihat anaknya terbaring dan didorong menuju ruang operasi. Satu babak sandiwara telah ia perankan demi menjaga kesehatan psikologis anaknya agar tidak mengalami trauma terhadap rumah sakit, seperti yang telah ia alami hingga kini.

Berbagai macam kondisi yang mungkin akan mengguncang psikologis anak memang harus diwaspadai oleh orang tua. Musibah kematian, kecelakaan, dan kebakaran, misalnya. Seberat dan seperih apa pun orang tua menanggung duka, jangan sampai lupa untuk mempertimbangkan akibatnya bagi anak-anak.

Lebih baik bawa anak pergi jika orang tua menangis berlebihan saat tertimpa musibah. Jangan sampai terlihat oleh mereka, bagaimana orang tua histeris, menangis meraung-raung, atau bahkan marah membabi buta karena tertimpa musibah. Ingat, bahwa hanya dengan melihat, anak-anak kecil itu bisa merekam ke dalam pikirannya, dan mereka bisa mengalami trauma karenanya.

Sangat penting untuk bisa segera menguasai perasaan, kemudian memulai sandiwara di depan anak-anak. Walaupun hati sedang sangat sedih, usahakanlah untuk tetap terlihat gembira di depan mereka. Karena anak yang terlalu sering melihat orang di sekitarnya menangis sedih, juga akan membuat psikisnya menjadi lemah.

Perasaan marah juga perlu ditutupi. Perselisihan yang terjadi di antara ibu dan ayah, misalnya, memang sesekali merupakan kejadian yang tak bisa dihindari. Namun, usahakanlah agar perselisihan itu tidak langsung di depan anak-anak. Begitu pula dengan gejolak amarah yang diakibatkannya, tak boleh ditampakkan di depan mereka.

Agar Bisa Bersandiwara

Keterampilan bersandiwara yang telah dibicarakan di atas, ternyata tidaklah mudah. Menutupi perasaan sendiri, sementara mungkin perasaan itu sudah begitu melekat, bahkan mendarah daging dari kecil, hanya mampu dilakukan oleh mereka yang ikhlas. Selain itu, diperlukan kepekaan tentang mana perasaan yang boleh ditampakkan dan mana yang tidak. Yang paling bagus adalah di setiap saat, kepekaan ini terjaga. Ini memerlukan latihan dan proses juga. Pertama kali, sulit untuk langsung menyadari bahwa ada perasaan keliru yang terlanjur ditampakkan di depan anak. Di sinilah saatnya berlatih, yaitu di setiap saat kita menampakkan sebuah perasaan, segera lah koreksi, apakah perasaan itu pantas ditangkap oleh anak atau tidak. Selalu gunakan teori pendidikan untuk mempertimbangkannya.

Sekali dua kali gagal menyembunyikan tidak mengapa, dan teruslah berlatih di kesempatan-kesempatan lain. Kegagalan yang terlanjut terjadi juga bisa dinetralisasi dengan mencari alasan yang bisa diterima anak.

Wallahu A’lam.

Sumber:

Istadi, Irawati. 2016. Mendidik dengan Cinta. Yogyakarta: Pro-U Media.

Tinggalkan komentar