Dakwah

Larangan Memintakan Ampunan kepada Allah untuk Orang-Orang Musyrik yang Telah Meninggal

Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Ibnul Musayyab dari ayahnya, ia berkata: “Ketika Abu Thalib menjelang kematiannya, masuklah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya, sementara di sisinya ada Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah. Beliau bersabda kepadanya:

‘Wahai paman, ucapkanlah لا إله إلاّ الله, satu kalimat yang dengannya aku akan membelamu di sisi Allah ‘Azza wa Jalla.’ Maka Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah berkata: ‘Wahai Abu Thalib, apakah kamu benci kepada agama Abdul Muththalib (bapakmu).’ Akhirnya Abu Thalib pun berkata: ‘Aku tetap berada pada agamanya Abdul Muththalib.’ Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Aku akan memintakan ampunan untukmu selama aku tidak dilarang melakukannya.’

Maka turunlah ayat:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

“Tidaklah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” (QS. At-Taubah [9]: 113)

Ia berkata: “Maka turunlah ayat kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ayat:

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya” (QS. Al-Qashash [28]: 56) (HR. Ahmad (V/433) Diriwayatkan juga oleh al-Bukhari dan Muslim (Fat-hul Baari (VIII/192) dan Muslim (I/54). [Al-Bukhari (no. 4675), Muslim (no. 24)])

Ibnu Jarir juga meriwayatkan dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya, bahwa tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai ke Makkah, beliau mendatangi bentuk sebuah kuburan, lalu duduk di situ seraya berdo’a. Setelah itu beliau bangkit dalam keadaan bercucuran air mata. Kami berkata: “Wahai Rasulullah, kami melihat apa yang telah engkau perbuat.” Beliau bersabda:

“Aku telah meminta izin kepada Rabb-ku untuk menziarahi kubur ibuku, lalu Dia mengizinkan aku. Dan aku meminta izin kepada-Nya untuk memohonkan ampunan baginya, namun Dia tidak mengizinkan aku.”

(Setelah itu) beliau tidak terlihat menangis sebanyak tangisan beliau di hari itu. (At-Thabari (VI/ 489))

Al-‘Aufi menuturkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman-Nya: “Tidaklah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik.” Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin memintakan ampunan bagi ibunya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala melarangnya dari hal itu. Lantas beliau bersabda:

“Sesungguhnya Ibrahim Khaliilullaah telah memintakan ampunan untuk ayahnya.”

Maka turunlah ayat: ( وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلَّا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ ) “Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu.” (Ath-Thabari (XIV/512))

Ali bin Bin Thalhah menuturkan dari Ibnu ‘Abbas tentang ayat ini, ia berkata: ‘Dahulu kaum muslimin memintakan ampunan bagi kaum musyrikin. Setelah turun ayat ini, maka mereka berhenti mendo’akan kerabat mereka yang telah mati. Akan tetapi mereka tidak dilarang untuk memohonkan ampunan bagi orang-orang yang masih hidup sampai mereka mati. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya: “Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya,” (Ath-Thabari (XIV/513)) hingga akhir ayat.

Dan firman-Nya: ( فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ ) “Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya.” Ibnu ‘Abbas berkata: “Ibrahim terus-menerus memintakan ampunan bagi ayahnya sampai ayahnya mati. Dan ketika telah nyata baginya bahwa dia adalah musuh Allah, maka ia pun berlepas diri, tidak mendo’akan lagi. (Ath-Thabari (XIV/519))

Dalam satu riwayat tertulis dengan lafazh: Tatkala dia mati, mata nyatalah bagi Ibrahim bahwa dia adalah musuh Allah. Demikian juga yang dinyatakan oleh Mujahid, adh-Dhahhak, Qatadah dan selain mereka rahimahumullah. (Ath-Thabari (XIV/518,519))

‘Ubaid bin ‘Umair dan Sa’id bin Jubair mengatakan bahwa Nabi Ibrahim berlepas diri dari ayahnya pada hari Kiamat hingga ia bertemu dengan ayahnya, dan pada wajah ayahnya terdapat debu. Ia berkata: “Wahai Ibrahim, dahulu (di dunia) aku tidak menurutimu, sekarang aku akan menurutimu.” Ibrahim berkata: “Wahai Rabb-ku, bukankah Engkau telah berjanji kepadaku bahwa Engkau tidak akan menghinakanku pada hari Kebangkitan? Tidak ada kehinaan yang lebih menghinakan daripada ayahku yang jauh (dari rahmat Allah).” Maka dikatakan kepadanya: “Lihatlah apa yang ada di belakangmu.” Ternyata ayahnya telah menjelma menjadi dhabu’ (sejenis anjing hutan yang banyak bulunya) yang berlumuran darah. Kemudian kaki-kakinya diseret dan dilemparkan ke dalam Neraka. (Ath-Thabari (XIV/521))

Allahu A’lam.

Sumber:

Al-Mubarakfuri, Syaikh Shafiyyurrahman. 2018. Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 4. Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir.

Tinggalkan komentar