Dakwah

Meneladani Sikap Abdullah bin Umar ketika Menghadapi Fitnah

Abdullah bin Umar adalah salah seorang ulama dari kalangan sahabat. Sekalipun usianya masih cukup belia jika dibandingkan dengan para sahabat, namun dia termasuk anggota dewan pertimbangan dan musyawarah di kalangan para sahabat.

Abdullah bin Umar termasuk salah seorang sahabat yang mengalami masa-masa kemunculan fitnah dan dia pun menyaksikan sendiri bagaimana para sahabat generasi awal memberikan solusi terhadapnya, serta menumpasnya sejak fitnah tersebut belum membesar.

Semua kejadian tersebut -di samping pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai fitnah yang dihafalnya- membuatnya mampu mengambil satu sikap yang jelas ketika menghadapi fitnah dan melindungi dirinya sendiri, keluarga, anaknya dan siapa saja yang patuh kepadanya. Bahkan sikapnya tersebut dipuji oleh kebanyakan kaum muslimin setelah berlalunya zaman fitnah.

Awal dari kebijakan sikap Ibnu Umar ini terbukti dari keridaannya atas keputusan Amirul Mukminin Umar yang menunjuk calon khalifah melalui musyawarah enam orang sahabat. Sementara, Abdullah bin Umar hanya menjadi penasihat saat musyawarah, ia tak diperkenankan memegang jabatan tersebut. Walau demikian, ia tetap menerima siapa pun yang diangkat sebagai khalifah selanjutnya. Ia tidak berambisi agar diangkat sebagai khalifah dan tidak pula mencela ayahnya yang melarang dirinya untuk memegang jabatan tersebut. Sikap ini menjadi bukti atas keimanan dan kejujurannya dalam menaati Allah dan Rasul-Nya, dan dia tak memiliki kepentingan pribadi sedikit pun dalam hal ini.

Kebijakan sikap Abdullah bin Umar lainnya ditunjukkan tatkala Utsman dikepung. Dia bergegas menolongnya dengan memasuki rumah (Utsman) bersama sejumlah sahabat, di antaranya adalah al-Hasan bin Ali.

Nafi’ menceritakan secara selengkapnya peristiwa tersebut: “Ibnu Umar mengenakan baju besinya sebanyak dua kali pada hari terjadinya fitnah di rumah Utsman. Ia mendatangi Utsman dan menuturkan: ‘Aku pernah hidup di masa nabi dan dengan itu aku mengetahui kewajibanku terhadap hak risalah dan kenabian beliau. Aku juga hidup di masa Abu Bakar dan aku mengetahui kewajibanku terhadap hak seorang khalifah. Aku juga hidup di masa Umar dan aku mengetahui mana yang menjadi kewajibanku terhadap hak seorang ayah dan mana yang menjadi kewajibanku terhadap seorang khalifah. Dan kini aku mengetahui hal yang sama terhadap dirimu’. Namun Utsman berkata kepadanya: ‘Semoga Allah melimpahkan balasan yang terbaik bagi kalian, tinggallah di rumah hingga perintahku sampai kepadamu.” [1]

Pada kesempatan lain, Nafi’ berkata: “Ibnu Umar menemui Utsman, dan saat itu al-Mughirah bin al-Akhnas ada di sisinya. Al-Mughirah mengatakan: ‘Perhatikanlah apa yang dikatakan orang-orang di luar, mereka mengatakan: ‘Lepaskanlah (jabatan) kekhalifahan, janganlah kamu membunuh dirimu sendiri.’

Mendengar ungkapan tersebut, Ibnu Umar lalu berkata kepada Utsman: ‘Jika engkau melepaskannya, apakah itu akan membuatmu hidup kekal di dunia?’ ‘Tidak,’ jawab Utsman. Ibnu Umar berkata lagi: ‘Jika kamu tidak melepaskannya, apakah mereka akan membunuhmu lebih dari sekali?’ ‘Tidak,’ jawab Utsman. Ibnu Umar berkata lagi: ‘Apakah mereka dapat menjamin engkau dengan surga atau neraka?’ ‘Tidak,’ jawab Utsman. Ibnu Umar lalu berkata: ‘Kalau memang demikian, menurutku, janganlah engkau melepaskan pakaian yang telah Allah kenakan kepadamu. Agar hal itu tidak menjadi contoh jika kelak suatu kaum tidak menyukai khalifah atau imam mereka, maka mereka akan membunuhnya.” [2]

Begitulah sikap mulia dari Abdullah bin Umar dalam situasi yang sangat genting. Ia tidak menganggap remeh urusan kekhalifahan dan kepemimpinan umat, ia pun berani membela keselamatan Utsman di hadapan para pembangkang yang telah berkumpul di luar rumahnya, dan tak mengabulkan keinginan mereka. Semua ini merupakan bukti akan kekuatan imannya dan bahwa keselamatan itu, baik dalam kondisi senang maupun saat sulit, hanya dapat diraih dengan berpegang teguh terhadap Al-Qur’an dan as-Sunnah, sekalipun hal itu bertentangan dengan kehendak dan praduga (pendapat) manusia.

Tatkala Utsman terbunuh dan fitnah semakin menyebar, Ibnu Umar menjauhkan diri dari seluruh permasalahan. Dia tidak bergabung dengan salah satu pasukan yang bertikai, bahkan lebih memilih keluar dari Madinah dan berdiam diri di Makkah demi menjaga agamanya, mencegah tangan dan lisannya agar tak menodai kaum muslimin, dia melaksanakan perintah nabi agar mengasingkan diri ketika terjadi fitnah. [3]

Ibnu Umar, ketika menjelaskan tentang pengasingan dirinya, mengatakan: “Sesungguhnya perumpamaan diri kami ketika fitnah itu terjadi adalah seperti satu kaum yang berjalan di jalur yang mereka ketahui. Tiba-tiba, awan dan kegelapan menyelimuti mereka, sehingga menjadikan sebagian mereka berjalan ke kanan dan sebagian lagi ke kiri. Akibatnya mereka menelusuri jalan yang salah. Sementara itu, kami memilih untuk menetap di sana sampai Allah Ta’ala singkap kegelapan tadi dan kami pun dapat melihat kembali jalan pertama yang memang kami ketahui; setelah itu, barulah kami melanjutkan perjalanan. Mereka adalah para pemuda Quraisy yang saling membunuh untuk mendapatkan dunia dan kekuasaan. Demi Allah, aku tidak peduli jika aku tidak memiliki sesuatu yang menyebabkan mereka saling membunuh, meskipun hanya (karena sesuatu yang sepele seperti) kedua sandal ini.” [4]

Oleh karena itulah, Ibnu Umar menolak untuk terjun ke dalam masalah ini sejak terbunuhnya Utsman. Banyak orang yang mendatanginya seraya berkata: “Sesungguhnya engkau adalah pemimpin dan putra seorang pemimpin, maka keluarlah engkau agar umat ini dapat membai’at engkau.” Ibnu Umar menjawab: “Demi Allah, aku tidak akan membiarkan diriku menjadi penyebab tumpahnya darah sesama muslim.” Mendengar jawaban tersebut mereka berkata: “Engkau harus keluar atau kami akan membunuhmu di atas ranjangmu.” Ibnu Umar tetap menjawab mereka seperti jawaban pertamanya.

Al-Hasan menceritakan: “Mereka terus mengiming-imingi dan menakut-nakutinya, namun tidak menerima tawaran apa pun dari mereka hingga dia menemui Allah.” [5]

Demikianlah sikap yang diambil oleh Ibnu Umar untuk menjaga agama dan dirinya dari fitnah, dia tidak pernah mau memberikan bantuan untuk pembunuhan seorang muslim. Tatkala kaum muslimin bersatu, maka dia akan ikut bersatu bersama mereka dan membai’at orang yang telah mereka ridha’i untuk menjadi seorang pemimpin. Sedangkan jika mereka bercerai berai, maka ia akan mengasingkan diri hingga mereka bersatu kembali.

Karena lantaran itulah, tatkala orang-orang sepakat atas kepemimpinan Mu’awiyah pada tahun al-Jamaah (tahun bersatu umat), maka Abdullah bin Umar iku membai’at dan meridhai kekhalifahan serta bergabung bersama jamaah kaum muslimin lahir maupun batin.

Begitu pula tatkala Mu’awiyah meninggal dunia dan mewasiatkan kekhalifahan kepada putranya, Yazid; kemudian orang-orang membai’atnya; maka Abdullah bin Umar pun termasuk orang yang ikut membai’at Yazid demi menjaga keselamatan dan kesatuan umat. Dia membai’at Yazid dengan penuh kejujuran, berbakti, memelihara perjanjiannya secara lahir dan batin, serta memerintahkan keluarga dan siapa saja yang menaatinya untuk melakukan hal itu, juga melarang mereka dari menyelisihinya.

Nafi’ mengatakan: “Tatkala penduduk Madinah menarik ketaatan mereka terhadap Yazid bin Mu’awiyah, Ibnu Umar mengumpulkan pelayan dan anak-anaknya, lalu dia berkata: ‘Sesungguhnya aku mendengar nabi bersabda:

Pada hari Kiamat akan ditegakkan satu bendera (penanda) bagi setiap pengkhianat.

Kita telah membai’at laki-laki ini di atas karena perintah Allah dan Rasul-Nya, dan aku tidak mengetahui suatu bentuk pengkhianatan yang lebih besar daripada ketika seseorang dibai’at karena Allah dan Rasul-Nya, tapi kemudian ia justru diperangi. Siapa pun di antara kalian yang menarik ketaatannya dari pemimpin (Yazid) dan tidak mengikuti kepemimpinannya, maka perbuatannya itu akan menjadi pemisah antara diriku dan dia. [6]

Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini memuat keterangan wajibnya menaati imam yang diangkat melalui pembai’atan dan larangan mengadakan pemberontakan terhadapnya, sekalipun dia bertindak zalim dalam menghukumi, dan dia tidak dapat dicopot hanya karena suatu kefasikan. [7]

Ibnu Umar selamat dari fitnah karena keteguhannya dalam berpedoman terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah, baik ketika sedang sendiri maupun di tengah masyarakat. Tatkala Yazid meninggal dan dia digantikan oleh putranya, Mu’awiyah. Namun kepemimpinannya tidak berlangsung lama. Tatkala Mu’awiyah meninggal dunia, masyarakat menjadi goncang. Sampai-sampai, di setiap negeri terdapat orang yang menuntut untuk menjadi khalifah, dan akibatnya umat ini pun menjadi terpecah belah. Ibnu Umar memisahkan diri dari berbagai arus yang ada di masyarakat dan tidak ikut berbai’at, demi menyelamatkan agama, jiwa dan kehormatannya.

Dalam kondisi yang sulit ini, Ibnu Umar didatangi oleh Marwan bin al-Hakam, lantas Marwan berkata kepadanya: “Ulurkan tanganmu agar kami dapat membai’atmu, karena engkau adalah pemimpin dan putra dari pemimpin bangsa Arab.” Ibnu Umar berkata: “Apa yang harus kuperbuat dengan penduduk timur?” Marwan menjawab: “Kita serang mereka hingga mau membai’atmu.” Ibnu Umar berkata: “Aku tidak ingin di usia yang mendekati tujuh puluh tahun ini, diriku justru menjadi penyebab terbunuhnya seseorang.” [8]

Setiap kali fitnah muncul, Ibnu Umar langsung menutupi wajahnya dengan Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, sehingga dia selamat dan membiarkan orang lain bergelut di dalamnya. Akhirnya mereka bersatu di bawah naungan Abdul Malik bin Marwan -setelah sebelumnya terjadi perpecahan- Ibnu Umar segera masuk ke dalam jamaah mereka dan mengumumkan bai’at terhadapnya.

Demikianlah, keteguhan Abdullah bin Umar dalam memegang sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik ketika senang maupun sulit, ketika sedang sendiri maupun di tengah masyarakat. Karenanya, dia dikenal sebagai sahabat yang sangat gigih dalam meneladani petunjuk nabi. Dan keteguhan ini pula yang telah menyelamatkan agama, kehormatan dan jiwanya.

Wallahu A’lam.

Catatan kaki:

[1] Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir -biografi Utsman- (hlm. 399)

[2] Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir -biografi Utsman- (hlm. 359)

[3] As-Siyar (III/224)

[4] Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqaat (IV/171) dan Abu Nu’aim dalam Hiyah al-Auliya’ (I/309-310)

[5] Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqaat (IV/151)

[6] Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya (III/1478, no. 1851).

[7]Fat-hul Baari (XIII/71-72)

[8] Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqaat (IV/169). Lihat Siyar A’lam an-Nubalaa (III/216).

Sumber:

Al-Aqil, Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab. 2022. Fitnah dan Cobaan Umat Islam, Sikap Ulama Salaf dalam Menghadapinya. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i.

Tinggalkan komentar