Dakwah

Nabi Muhammad Orang Kaya atau Orang Miskin?

Mungkin kita pernah mendengar kisah Nabi Muhammad yang memberikan mahar kepada istri pertamanya Khadijah dengan mahar yang begitu besar, namun di kisah kehidupan lainnya kita pun mendengar kisah Nabi Muhammad yang mengganjal perutnya dengan kerikil untuk menahan lapar. Dari kedua kisah tersebut, terkadang terlintas dari benak kita, apakah Nabi Muhammad termasuk ke dalam orang kaya atau orang yang kesusahan?

Namun jika kita mengkaji lebih dalam. Nabi Muhammad sesungguhnya termasuk ke dalam orang kaya yang memilih hidup bersahaja. Hal ini dibuktikan dengan pekerjaannya sebagai pedagang yang terkenal amanah, hingga beliau mampu memberikan mahar kepada istrinya dengan mahar yang begitu besar.

Ustaz Ahmad Sarwat dalam buku Khadijah Al-Kubra menjelaskan bahwa Ibnu Hisyam menuliskan dalam kitabnya: 

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi mahar kepada Khadijah sebanyak 20 bakrah.” Adapun yang dimaksud dengan bakrah adalah unta yang muda betina.

Jika kita mengangap harga seekor unta sedikit di atas harga sapi, misalnya Rp 30 juta per ekor. Maka setidaknya nilainya secara akumulatif berkisar Rp 600 juta. [1]

Selain itu, beliau pun memiliki banyak ghanimah dari beberapa perang yang pernah dijalaninya. Namun karena sikap kedermawan beliau, beliau memilih untuk hidup bersahaja dan banyak bersedekah dengan harta yang dimilikinya.

Dari Musa bin Anas dari bapaknya radliallahu ‘anhu dia berkata;

Tidak pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dimintai sesuatu karena Islam, melainkan selalu dipenuhinya. Pada suatu hari datang kepada beliau seorang laki-laki, lalu diberinya seekor kambing di antara dua bukit. Kemudian orang itu pulang ke kampungnya dan berseru kepada kaumnya; “Hai, kaumku! Masuk Islamlah kalian semuanya! Sesungguhnya Muhammad telah memberiku suatu pemberian yang dia sendiri tidak takut miskin.” (HR. Muslim)

Dalam hadits lain pun diterangkan Rasulullah selalu memberikan apa pun yang diminta oleh orang lain kepada dirinya meskipun di sisi lain, ia juga membutuhkannya.

Dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu ‘anhu beliau berkata :

جَاءَتِ امْرَأَةٌ بِبُرْدَةٍ… قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي نَسَجْتُ هَذِهِ بِيَدِي أَكْسُوكَهَا، فَأَخَذَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحْتَاجًا إِلَيْهَا، فَخَرَجَ إِلَيْنَا وَإِنَّهَا إِزَارُهُ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ القَوْمِ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، اكْسُنِيهَا. فَقَالَ: «نَعَمْ». فَجَلَسَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي المَجْلِسِ، ثُمَّ رَجَعَ، فَطَوَاهَا ثُمَّ أَرْسَلَ بِهَا إِلَيْهِ، فَقَالَ لَهُ القَوْمُ: مَا أَحْسَنْتَ، سَأَلْتَهَا إِيَّاهُ، لَقَدْ عَلِمْتَ أَنَّهُ لاَ يَرُدُّ سَائِلًا، فَقَالَ الرَّجُلُ: وَاللَّهِ مَا سَأَلْتُهُ إِلَّا لِتَكُونَ كَفَنِي يَوْمَ أَمُوتُ، قَالَ سَهْلٌ: فَكَانَتْ كَفَنَهُ
“Datang seorang wanita membawa sebuah burdah… lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah menenun kain burdah ini dengan tanganku agar engkau memakainya,

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengambil kain burdah tersebut dalam kondisi memang membutuhkannya,

Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menemui kami dengan menggunakan kain burdah tersebut sebagai sarung beliau,

Maka ada seorang lelaki –diantara kaum yang hadir- berkata, “Wahai Rasulullah, berikanlah sarung itu kepadaku untuk aku pakai !”,

Nabi berkata, “Iya”,

Maka Nabi pun duduk di suatu tempat lalu kembali, lalu melipat kain burdah tersebut lalu ia kirimkan kepada orang yang meminta tadi.

Maka orang-orangpun berkata kepadanya, “Bagus sikapmu…, engkau meminta kain tersebut kepada Nabi, padahal kau sudah tahu bahwa Nabi tidak pernah menolak orang yang meminta kepadanya?”,

Maka orang itu berkata, “Demi Allah, aku tidaklah meminta kain tersebut kecuali agar kain tersebut menjadi kain kafanku jika aku meninggal”,

Sahl berkata, “Maka kain tersebut akhirnya menjadi kafan orang itu” (HR Al-Bukhari no 2093)

Dari hadits tersebut, kita menyadari bahwa para Sahabat sudah mengetahui sikap nabi Muhammad yang tidak akan mengatakan tidak jika ada seseorang yang meminta sesuatu yang memang dimilikinya.

Bahkan dalam hadits lainnya pun diterangkan sikap Nabi Muhammad kepada seseorang yang terus-menerus meminta kepada dirinya. Maka dirinya memberikan apa yang diminta sambil memberikan nasihat.

Hakim bin Hizam meriwayatkan, “Aku pernah minta sesuatu kepada Rasulullah dan beliau memberi. Lalu aku minta lagi dan diberi. Lalu aku minta lagi dan diberi lagi. Lalu beliau bersabda, “Wahai Hakim, sesungguhnya harta itu hijau dan manis. Maka, barangsiapa yang mendapatkannya dengan kelapangan jiwa dan kemurahan, akan diberkahi. Barang siapa yang mendapatkannya dengan serba kekurangan, tidak diberkahi. Seperti orang makan yang tidak pernah kenyang. Merasa kurang terus. Dan ketahuilah, bahwa tangan diatas (memberi) lebih baik dari tangan di bawah (meminta).” (Muttafaq ‘alaih)

Oleh karena itu Rasulullah hidup bersahaja bukan karena beliau tidak memiliki harta. Namun karena beliau lebih memilih untuk mensedekahkan hartanya dibandingkan hidup bermewah-mewahan. Selain itu beliau menjadikan harta warisannya sebagai sedekah. Sehingga ketika Rasulullah telah wafat, putri beliau meminta harta warisan Rasulullah kepada Khalifah Abu Bakar, namun khalifah tidak memberikan harta warisan tersebut karena mengingat pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kami para nabi tidak mewariskan harta. Apa yang kami tinggalkan menjadi sedekah [milik umat].” (HR Bukhari dari Aisyah).

Wallahu A’lam.

Catatan kaki:

[1] https://islamdigest.republika.co.id/berita/qu0rc6320/berapa-nilai-mahar-rasulullah-saw-ke-khadijah-sekarang

Tinggalkan komentar